Yeah, people are really going to like this post..... Pada akhir bulan Juli ini, berberapa murid kami dipanggil untuk mewakili Indonesia dalam pertandingan ASEAN School Games yang diadakan di Chiang Mai Thailand pada tanggal 21-29 Juli 2016. Tentunya bagi sekolah manapun prestasi seperti itu merupakan prestasi yang sangat dibanggakaan, apalagi murid-murid kami yang berangkat berhasil mendapat medali perak di cabang masing-masing. Terlebih lagi salah satu murid tersebut merupakan anak angkat dari saya pribadi, jadi kebanggaan yang saya rasakan adalah sebagai kepala sekolah, tetapi juga sebagai orangtua. Namun meskipun perasaan bangga dan senang ada, ada juga suatu kekecewaan yang juga muncul dari keikutsertaan murid kami dalam event ini. Kekecewaan itu sebenarnya kekecewaan lama, yang kembali muncul pada saat melihat (dan mengalami sebagai orangtua), seberapa buruknya sistem support yang diberikan kepada atlit-atlit pembinaan. Pertama-tama dalam pemanggil pemain baik sebagai sebagai orangtua saya tidak menerima surat pemberihatuan apapun yang dikirimkan kepada orangtua dari pihak-pihak yang terkait. yang saya lihat hanya surat yang dialamatkan kepada: dan disertai tembusan kepada: dan satu surat yang diemail ke salah satu staff kepala sekolah yang dialamatkan sebagai berikut: Mungkin maksudnya adalah supaya atlit/pelajar yang bersangkutan tinggal mencetak berberapa copy dan mengisi alamat sesuai keperluan (orangtua/sekolah/dst...), dan meskipun hal tersebut memang bisa memudahkan proses pembuatan surat, hal tersebut seharusnya tidak boleh untuk surat sepenting pemanggilan dan ijin membawa anak keluar negeri (Standard legal untuk surat non-edaran/pengumuman adalah nama penerima diketik/cetak di dokumen dengan jelas). Kedua, dari awal pemanggilan, training camp, dan sampai dengan keberangkatan, sama sekali tidak ada surat/dokumen/atau permintaan ijin tertulis APAPUN yang diminta oleh pihak-pihak terkait. Ini berarti bahwa anak saya dipanggil Training Camp, Menjalani Karantina, kemudian pergi ke NEGARA LAIN, tanpa satupun klarifikasi atau permintaan pernyataan ijin tertulis dari orangtua yang menyatakan orangtua memberikan ijin.
Sebagai kepala sekolah, salah satu hal yang paling sering diingatkan oleh dinas pendidikan adalah pentingnya ijin tertulis untuk kegiatan sekolah apapun yang diadakan di luar sekolah. Dinas dan pengawas sangat menekankan hal ini karena berkaitan dengan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Apabila anak tidak bisa menunjukan ijin tertulis dari orangtua atau wali yagn berhak, maka anak tersebut tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut. Apabila sekolah secara hukum wajib mendapat ijin tertulis dari orangtua untuk membawa anak karyawisata, masa membawa anak ke negara lain tidak memerlukan ijin yang serupa? Masalah-masalah seperti ini bukan baru pertama kali saya temui, hampir setiap kali ada pemanggilan murid untuk POPWIL, POPNAS, atau event apapun, surat-surat yang seharusnya ada tidak pernah diberikan atau tidak lengkap/sesuai peraturan yang berlaku. Surat pemberitahuan ke sekolah sangat penting untuk mengurus masalah absensi dan kehadiran murid, serat menyiapkan program susulan untuk murid yang akan absen untuk jangka waktu yang signifikan. Surat permintaan ijin kepada orangtua (dan tanggapan ijin tertulis dari orangtua) WAJIB ada menurut hukum Indonesia, bagi anak dibawah umur (<18Thn) manapun yang mengikuti suatu kegiatan/perjalanan/dst... dan tidak didampingi oleh salah satu orangtua, wali atau anggota keluarga. Sudah berulang kali kami menghadapi masalah dimana seorang atlit pelajar sering absen tanpa ijin atau surat yang jelas, sehingga bermasalah secara akademik. Pada saat anak tersebut mulai terancam tidak naik kelas, pelatih yang dulu memanggil, atau salah satu pengurus yang mendampingi biasanya menghubungi sekolah dan menggunakan salah satu dari berbagai variasi dari argumen "Masa sih sekolah ngak dukung murid?", atau "Ini membawa nama DKI pak!!!", dst... dst... dst... Lah, kalau tidak ada surat atau pemberitahuan, emang saya tau dari mana mas??? Seringkali juga, yang saya temukan adalah pelatih atau pengurus yang menginginkan pemainnya "Dibantu sedikit nilainya, sebagai imbalan prestasinya", atau "Dinaikan saja, nanti saya yang jamin.". Well, ini sekolah.... dan apabila kita mengikuti saran-saran seperti itu apakah kita mengajarkan hal yang baik dan benar kepada murid-murid kita?? Pada saat permintaan-permintaan seperti itu saya tanggapi dengan pemberitahuan bahwa kita bisa menyediakan waktu untuk pelajaran susulan dengan gurunya dan/atau pengujian susulan untuk nilai kosong. Tidak jarang tanggapan yang saya terima adalah "Yah, nanti jadwal latihannya bagaimana?". Yah maaf aja kalau anda-anda ada yang tersinggung, tapi kalau jadwal latihannya lebih penting daripada pemain anda naik kelas, saya meragukan prinsip anda sebagai seorang pendidik! (Ya, pelatih masuk ke golongan pendidik, setidaknya di tingkatan Junior, Pelajar, dan Mahasiswa/i, dan pendidik memiliki tanggung jawab untuk mementingan perkembangan anak binaan mereka secara KESELURUHAN, dan tidak hanya satu aspek saja). Masalah terkait ijin dan perkembangan akademik seperti ini juga terlihat merambat ke tingkatan Mahasiswa, dan Profesional (meskipun di level profesional itu sudah merupakan pilihan masing-masing pemain), dimana seringkali atlit harus mengorbankan keadaan akademik mereka untuk mengikuti pelatnas, pelatda, pertandingan, dst... tanpa adanya support dari organisasi yang membawahi tim-tim tersebut (meskipun pengalaman saya mayoritas di bidang bola basket, namun saya sudah berulang kali menemukan hal yang sama di bidang-bidang lain). Dokumen, surat, dan proses akademik merupakan aspek-aspek yang sangat penting dari dunia oahraga pelajar dan mahasiswa/i namun seringkali saya temukan bahwa selama ada medali atau prestasi yang bisa diraih, hal-hal tersebut menjadi sekunder. Saya bulan lalu mengurus salah satu mantan murid saya yang mendapatkan beasiswa bola basket di salah satu kampus peserta LIMA nasional. Beasiswa dia ditarik karena "IPnya tidak mencukupi". Saya sedikit heran karena setahu saya IP murid tersebut sudah sesuai kontrak yang ditanda-tangani sebelumnya (dan kebetulan kampus tersebut suka mengundang kepala sekolah pada saat penandatanganan kontrak beasiswa, jadi saya tahu persis isi kontraknya). Kemudian saya tanyakan kepada pelatih tim tersebut. Pertama-tama jawabannya adalah bahwa IP untuk beasiswa sudah diubah menjadi 3.0 sehingga mantan murid saya itu tidak mencukupi IPnya, kemudian alasannya adalah karena "kontribusi di tim kurang". Meskipun sekilas alasan tersebut terdengar masuk akal, ada satu masalah besar di argumen itu. DI DALAM KONTRAK TIDAK ADA KLAUSUL TENTANG KONTRIBUSI TIM, DAN BATAS IP DI KONTRAK ADALAH 2.5. Saya memahami bahwa keaktifan mantan murid saya di di tim kampusnya memang tidak memadai, tetapi kontrak adalah kontrak. Kalau sebuah kampus ingin menggunakan "kontribusi di tim" sebagai salah satu standard dalam mencabut beasiswa, atau ingin IP minimal 3, sebenarnya sah-sah saja, tetapi HARUS ADA DI DALAM KONTRAKNYA!!! Tidak bisa "Ditambahkan" atau "diubah" dikemudian hari. Kekecewaan saya lebih meningkat lagi pada saat saya mengetahui bahwa ternyata ada anggota lain di tim kampus itu yang IPnya dibawah standard yang diberikan, tetapi tetap dipertahankan karena "ada kontribusi ke tim". Standard ganda? Yang saya tangkap adalah bahwa di tim ini kemampuan permainan lebih penting daripada perilaku yang baik dan akademik yang mencukupi, dan bahkan dianggap cukup untuk bisa melanggar PERJANJIAN TERTULIS DENGAN METERAI. Hal ini menjadi jelas sekali ke saya pada saat saya menanyakan perihal salah satu mantan murid saya yang lain yang juga bermain di tim itu dan "berkontribusi" kepada tim, tetapi sering membuat masalah, dan bahkan pernah bohong kepada pelatihnya dan mengatakan tidak hadir untuk pertandingan LIMA DKI karena kecelakaan padahal ditahan karena suatu hal lain. Pelatihnya mengatakan bahwa "yah selama di lapangan mereka bisa berkontribusi, di luar lapangannya sebenarnya bukan urusan pelatih". Jujur saja, pada saat saya mendengar penjelasan tersebut kekecewaan saya sangat luar biasa. Sebagai guru, kepala sekolah, dan orangtua, kita melepas anak-anak kita kepada institusi-institusi pendidikan yang kita harapkan akan semakin membantu mereka berkembang sebagai manusia, dan bukan kepada tempat-tempat yang mengajarkan mereka bahwa "selama kamu bisa berkontribusi kepada tim, kamu bebas ngapain saja tanpa perlu memikirkan konsekuensi". Adanya kebiasaan seperti itu dibanyak tempat merupakan alasan mengapa dalam konteks LIMA, saya pribadi selalu ingin murid-murid saya melanjutkan ke program di Universitas Pelita Harapan. Berberapa tahun yang lalu, seorang murid kita yang bermain di UPH melanggar "Code of Conduct" yang diterapkan di UPH. Saat itu UPH sudah masuk ke putaran akhir LIBAMANAS dan murid kita itu merupakan salah satu tim inti mereka. Tanpa ragu dan tanpa mempertimbangkan bahwa apabila murid kita tersebut tidak turun bertanding kemungkinan menangnya akan berkurang, head coach UPH (Coach Metcalfe) memutuskan untuk mencabut hak bermain pemain tersebut. Ini merupakan keputusan yang memiliki efek sangat negatif kepada kesempatan UPH untuk memenangkan LIBAMANAS tahun itu. BUT IT WAS THE RIGHT DECISION!!! Beliau sudah berulang kali memberikan "memarkir" mahasiswa/i di timnya yang standard akademiknya menurun, sehingga mereka tidak bisa bertanding atau bahkan berlatih sampai keadaan akademik mereka membaik, padahal pemain-pemain tersebut akan sangat membantu dalam mengejar prestasi. Lewat keputusan-keputusan seperti itu, "Coach Met" menyatakan dengan sangat jelas bahwa lebih penting mendidik karakter dan kepribadian mahasiswa/i yang dia bina daripada mengejar piala, and I will forever respect him for putting "right" over "trophies". Sayangnya pelatih-pelatih yang berpikir serupa jarang terlihat. Im sure they are there, we just see more of the coaches who care more about winning (because lets face it, they win a lot, but thats a different blog post). Tapi bukan hanya masalah surat, ijin, akademik, atau pengembangan diri pemain yang menjadi masalah yang saya temui dalam proses pembinaan dan pemanggilan atlit pelajar. Masalah lain yang sering saya temui adalah masalah tanggung jawab apabila ada cedera. Selama saya menjadi kepala program pengembangan olahraga di PSKD, sudah berberapa kali kejadian dimana murid kami di panggil untuk salah satu tim yang mewakili daerah asalnya, DKI (biasanya untuk pelajar), dst... yang cedera pada saat mengikuti kegiatan tim tersebut, dan apa yang terjadi? pemain tersebut dicoret dan kembali ke sekolah, dan kitalah yang harus mengurus semua biaya, perawatan, dst... yang berkaitan dengan cedera tersebut. Saya masih mengingat pada saat salah satu pemain saya cedera dalam proses persiapan untuk salah satu event pelajar yang membawa nama DKI, saya menanyakan apakah ada bantuan biaya, atau bahkan rekomendasi dokter yang bisa menangani (karena cederanya pada saat sparring di tim tersebut), dan jawaban yang saya dapat adalah "Tidak ada budgetnya. kalau mau yang murah, di bawa ke tukang urut saja, saya punya kenalan yang jago urutnya". Yeah, Wow.... @.@". Anak tersebut kemudian kita bawa ke dokter, dan diberikan proses terapi dan rehabilitasi yang memakan waktu sekitar 1 bulanan, setelah anak itu sembuh, bisa tebak apa yang terjadi?? yah, benar, langsung dipanggil lagi ke tim tersebut. Sering kali kesehatan dan perkembangan (fisik dan mental) pemain-pemain berpotensi Indonesia terkubur oleh keinginan mengejar medali dan prestasi. Terlalu banyak pemain berpotensi yang kariernya tamat dengan mendadak karena cedera yang disebakan dari latihan dan kegiatan yang hampir tiada hentinya. Berberapa tahun yang lalu ada seorang pemain basket putri di DKI Jakarta yang memiliki potensi luar biasa. She was so good, I would pay money to watch her play. Dia selalu main dengan senyum di wajah, dan memang seorang pemain yang luar biasa. Dia memperkuat klub, daerah, sekolahnya, dan bahkan sempat mengikuti pemanggilan pelatnas. Dimanakah anak tersebut sekarang? Sudah tidak aktif berkompetisi karena sudah berulang kali mendapat cedera lutut berat. Apakah kebetulan saja bahwa seorang anak yang mendapat begitu banyak panggilan bertanding mengalami cedera berulang kali? Yah, mungkin saja memang hanya nasib buruk saja, tetapi saya cenderugn berpikir padatnya jadwal latihannya juga berkontribusi kepada cedera yang dia alami. Hal seperti ini yang saya khawatirkan pada saat saya mendapat pesan bahwa anak angkat saya "disuruh latihan (salah satu tim DKI) besok", dia baru selesai mengikuti TC persiapan ASG, berangkat dan bertanding, dan belum 48 jam dia kembali ke tanah air, dia sudah dipanggil mengikuti seleksi yang lain. Apabila saya larang, saya sudah tahu dengan pasti apa yang akan menjadi omongan dikemudian hari "PSKD menghambat muridnya main selain di sekolah". Sehingga saya terjebak diantara 2 pilihan yang sama-sama tidak enak. Sebenarnya masalah-masalah seperti ini bisa diatasi dengan koordinasi, komunikasi, dan sedikti campur tangan dari masing-masing induk organisasi cabang. Seharusnya masalah dokumen dan surat meyurat dilakukan dengan jelas dan sesuai peraturan administrasi yang berlaku sehingga semua informasi bisa diperoleh dengan cepat dan tanpa keraguan. Seharusnya ada usaha untuk lebih merapihkan sistemnya sehingga tidak ada pemain yang bisa dipanggil tanpa ijin jelas dari orangtua (bukan hanya ijin lisan, tetapi ijin tertulis, sehingga sesuai dengan standard hukum Indonesia). Seharusnya ada langkat-langkah yang diambil untuk memastikan bahwa seorang pemain muda tidak didorong untuk belatih melewati batas yang aman bagi badan seorang remaja yang masih dalam masa perkembangan. Dan seharusnya "Pembinaan" memiliki tujuan yang lebih besar daripada mengumpulkan piala untuk Propinsi, Negara, Kampus, atau Sekolah. Sebagai pelatih dan guru, hal utama yang kita bentuk bukanlah pemain atau atlit, tetapi Manusia!!! And we have to do more to make sure that we make the best people possible!! We have to do better.... We can do better... WE WILL DO BETTER!!!!!
0 Comments
|
SMA 1 PSKD
Jalan Pangeran Diponegoro No. 80 RT.2/RW.6, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10430 Telp. (021) 3904418 / WA: 0821-8888-7753 tatausaha@sma1pskd.com |
DIRECTORY
|
©2023
SMA 1 PSKD Media |