Dari semua program yang sedang dalam proses pengembangan, saat ini program eSports merupakan program yang paling menuai pro dan kontra. Banyak muncul pertanyaan: "ngapain sih sekolah membiarkan anak main game?", "Sekolahnya ngak bener anak dikasih main melulu", dst... Oleh karena itu saya rasa perlu menjelaskan pemikiran dibelakang direncanakannya program eSports ini. eSports merupakan sebuah industri yang sedang berkembang dengan SANGAT cepat. Apabila kita mengukur dengan menggunakan parameter tradisional yang biasa digunakan dalam mengevaluasi "game" yang menjadi "sport", maka perkembangan eSports sakin cepatnya sehingga semua metode pengukuran tradisional tersebut menjadi invalid. Salah satu bukti perkembangan eSports di dunia adalah bahwa eSports sudah mulai mendapatkan pengakuan dari media dan perusahaan yang biasa bergerak di daerah "mainstream" seperti: Forbes, Fortune, ESPN, CNN, dan BBC. Sektor bisnis dan ekonomi dunia memperkirakan bahwa sebelum akhir tahun 2018 eSports akan menjadi sebuah industri dengan nilai minimal (USD) $ 1.000.000.000, dengan lebih dari 335 juta penggemar/pemain. Itu berarti bahwa diperkirakan bahwa eSports akan menjadi sebuah industri dengan jumlah penggemar/pemain YANG MELEBIHI JUMLAH PENDUDUK DI INDONESIA ATAU DI AMERIKA SERIKAT! Pengakuan eSports sebagai sebuah bidang yang valid juga dilihat dari investasi besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Microsoft, Coca-Cola, dan Pizza Hut. Data diatas ini menunjukan bahwa eSports akan berkembang menjadi sebuah bidang yang valid untuk membuat karir. Karir di bidang eSports TIDAK berarti karir sebagai "Pemain Game profesional" (meskipun menjadi gamer profesional adalah impian banyak penggemar eSports di tingkatan SMP/SMA), namun bisa juga berarti karir di bidang marketing, sales, teknologi, finacing, dst. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam eSports sendiri sebenarnya ada berbagai aspek lain yang tidak disadari oleh masyarakat secara umum, seperti ekonomi teoritis, sosiologi, matematika, komunikasi, pengenelan dan implementasi teknologi, marketing, strategic planning, logistik, dan masih banyak lagi. Semua hal ini membawa kami kepada sebuah kenyataan dimana SMA 1 PSKD merasa bahwa eSports adalah sebuah bidang yang valid untuk murid yang ingin merancang karirnya setelah lulus SMA, dan secara logika, apabila sebuah SMA merasa bahwa ada sebuah bidang yang valid yang bisa menjadi tempat murid membuat karir setelah ia lulus, maka sangatlah wajar apabila sebuah SMA mengambil langkah untuk mempersiapkan murid yang ingin mengeksplorasi bidang tersebut dengan lebih mendalam. Murid di dalam program eSports di SMA 1 PSKD akan menghabiskan sekitar 10-20 jam/minggu dengan kegiatan program. Selain latihan permainan, program juga akan meliputi pembelajaran teori ekonomi dan psikologi, strategy permainan, matematika, latihan fisik (meningkatkan reflex, APS, kebugaran umum, dst...), bahasa, dan berberapa aspek lain. Murid didalam progam eSports SMA 1 PSKD juga harus tetap memenuhi tanggung jawab akademiknya di program akademik sekolah, dan nilai rata-rata 80 selama masa SMA merupakan syarat wajib untuk bisa tetap berada di dalam program eSports. Program eSports akan terintegrasi total dengan program akademik sekolah sehingga tidak akan ada konflik penjadwalan diantara waktu latihan, dan waktu belajar. Selain itu setiap anggota program akan memiliki seorang penasihat akademik yang akan terus memantau perkembangan akademik setiap anggota program untuk mencegah adanya penurunan kualitas akademik. Untuk tahap awal, program eSports SMA 1 PSKD akan meliputi 3 cabang utama, dan 2 cabang sekunder. Dimana cabang utama adalah: League of Legends, Defence of the Ancients 2 (DotA), dan Counter Strike: Global Offensive. Cabang sekunder yang direncanakan adalah Vainglory, dan Hearthstone. Karena program eSports merupakan program binaan, maka akan diadakan seleksi untuk murid di masing-masing cabang. Secara konseptual, proses ini akan sangat mirip dengan proses seleksi murid SMA 1 PSKD di program Olahraga, Seni, dan Akademik, dan akan menjadi sebuah proses yang relatif menantang. Untuk masing-masing cabang, hanya akan dibuka 8-10 bangku, sehingga apabila ada calon murid yang tertarik, agar segera menghubungi sekolah (021-3904418) dan mendaftarkan nama untuk dimasukan di daftar calon yang akan dipanggil untuk proses seleksi. SMA 1 PSKD juga masih membuka lowongan untuk staff pembina cabang-cabang eSports tersebut (LoL, DotA2, dan CS:GO), dan apabila ada yang berminat agar mengirimkan CV ke: [email protected], berberapa hal yang perlu diperhatikan dalam C.V.:
Selain itu ada berberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum mengirimkan C.V:
Saat ini kami mencari pembina/staff untuk jabatan-jabatan berikut ini:
4 Comments
Selamat malam bapak/ibu. Seperti yang sudah disampaikan melalui surat edaran di awal minggu, besok merupakan batas deadline untuk nilai tahun ajaran 2017/2018. Sampai dengan saat ini baru sekitar 20 murid yang sudah memenuhi kriteria kenaikan kelas. Dalam seminggu terakhir ini saya dan dewan guru mendapat banyak sekali sms/telp/wa dari orangtua murid, dan jujur saja. Saya sangat sangat kecewa. Dari semua kontak yang masuk ke kami, mayoritas pesan lebih ke arah menawar dealine, menjelaskan kenapa anak dari orangtua bersangkutan seharusnya mendapat dispensasi tambahan, memarahi guru karena “anak saya kan bukan mau jadi guru matematika”, dst...
Sekarang saya tanya begini saja ke bapak ibu: BAPAK/IBU MAU KAMI MELAKUKAN APA? Menuntaskan tugas yang jelas-jelas dibuat asal hanya karena orangtua sudah menelpon? Memperpanjang waktu untuk murid yang selama satu semester lebih sering memperhatikan media sosialnya daripada mengulang kembali bahan pelajaran? Atau bapak/ibu ingin kita bermain sandiwara dan senyum saja dan menuntaskan semua murid? Sebenarnya murid-murid kami ini dititipkan kepada kami untuk dididik, atau hanya untuk dikasih ijasah dan raport kenaikan? Terus terang kami sulit mendidik murid kami apabila setiap kali ada sesuatu yang mungkin tidak enak bagi anak, orangtua langsung menelpon dan marah-marah. Murid dipulangkan karena terlambat (sesuai peraturan sekolah, dan sudah diinfokan dengan pemberitahuan dari akhir semester sebelumnya), mendapat WA “saya akan tanyakan ke dinas pendidikan perihal aturan ini”. Murid yang tidak menyelesaikan tugas dan disuruh mengulang/remedial mendapat telepon marah-marah “Emang anak saya sekolah seni, masa tugas seni tidak bisa diterima saja.”, dst... Apakah bapak/ibu tidak menyadari bahwa hal-hal itu justru menjadi “reinforcement” yang tidak baik bagi anak-anak. Apakah kebetulan bahwa ada korelasi tinggi diantara orangtua-orangtua yang sering seperti ini dan murid-murid yang nilainya kurang? Anak tidak akan berusaha kalau dia merasa bahwa orangtua akan membela dia meskipun dia salah. (Kalau mau bilang saya lempar tanggung jawab lagi, silahkan.). Apabila ada guru yang memang merugikan murid dengan sengaja maupun tidak sengaja, pasti akan ditindak dengan tegas (saya rasa track record saya sudah membuktikan ini). Kalau ada murid yang memang memiliki masalah akademik/kemampuan di salah satu pelajaran tertentu, pasti akan kami tangani dan dampingi sehingga murid tersebut mendapat kesempatan yang adil untuk bisa memenuhi kriteria kenaikan. Saya bisa memahami kekhawatiran orangtua terhadap putra/putrinya naik/tidak naik, tapi apakah kenaikan/kelulusan merupakan tujuan tunggal bapak ibu menyekolahkan putra/putri bapak ibu di sekolah kami? Atau bapak/ibu memang merasa bahwa guru-guru saya sengaja mempersulit atau merugikan murid kami? Atau bahwa kami INGIN murid tidak naik kelas? Kalau tingkat kepercayaan bapak/ibu terhadap sekolah saya, staff saya, dan saya serendah itu, saya musti menyarankan bapak/ibu untuk mempertimbangkan ulang beberapa hal. Kenaikan dan kelulusan merupakan sesuatu yang musti diraih dengan usaha. Kriteria kenaikan dan kelulusan di sekolah kita SANGAT jelas dan SUDAH DIBERITAHU DARI MINGGU PERTAMA MURID BERSEKOLAH DI SMA 1 PSKD dan sudah dikatahui oleh semua orangtua dan murid (tetapi tetap saja, diakhir-akhir tahun ajaran seperti ini, ada saja orangtua yang menanyakan “kenapa kenaikan kelas di sini tidak seperti di sekolah lain. Tidak adil bagi anak. Membebani belebihan. Dst...”.) Memang kriteria kita sengaja dirancang untuk sedikit menantang murid untuk menghadapi batasan-batasan yang ada di dalam dirinya. Tapi tidak mustahil kok untuk memenuhi kriteria tersebut, dan apabila murid berusaha dengan sungguh-sungguh maka kemungkinan besar dia akan memenuhi kriteria tersebut. Dan ada satu hal besar lain yang mungkin tidak disadari. Perilaku seperti ini menghilangkan kesempatan putra/putri bapak/ibu untuk merasakan sense of achievement yagn akan dia dapat dari bisa mengatasi seuatu yang mungkin ia rasa sedikit sulit bagi dirinya (nilai/akademik) dengan usaha dan kemampuan dia sendiri. Perhatikan saja rasa percaya diri dan kebanggaan yang dimiliki oleh anak-anak yang berhasil mencapai target tersebut. Mereka menjadi confident dengan kemampuan mereka dan dengan kesanggupan mereka untuk mengatasi hal-hal sulit. Saat ini diantara murid yang sudah tuntas ada beberapa murid pindahan (yang selain mengejar nilai, juga harus menjalani proses penyesuaian yagn seringkali tidak mudah), ada murid-murid yang berada di program pembinaan basket (yang jadwal kegiatan mereka sangat padat dan sangat melelahkan), dan ada anggota BPH OSIS (yang juga harus memenuhi tanggung jawab mereka di OSIS sambil mengurus keadaan akademik mereka). Kenapa anak-anak ini bisa tuntas, sedangkan yang lain tidak? Padahal dari segi beban kegiatan dan kepadatan jadwal mereka jauh lebih menyulitkan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab akademik. Saya tidak mau menjatuhkan atau meninggikan murid manapun, saya hanya ingin semua orangtua bersikap OBJEKTIF dan melihat keseluruhan keadaan putra/putri mereka. Di sistem kami, kenaikan dan kelulusan merupakan hasil akhir dari proses selama satu periode studi. Bukan hasil dari orangtua yang terus melobby sekolah untuk terus-terusan memberikan dispensasi kepada murid. Kembali ke judul tulisan ini: “Lame Duck” merupakan suatu frase di bahasa inggris yang menggambarkan keadaan dimana seorang atau suatu hal menjadi tidak efektif karena sudah ada opsi lain yang muncul. Istilah ini bisa digunakan untuk menggambarkan seorang presiden yang penggantinya sudah terpilih tetapi belum terlantik, atau suatu pemimpin yang sudah menyatakan akan pensiun tapi belum mundur. Dalam konsep ini saya menggunakan frase “lame duck” untuk menggambarkan keadaan dimana staff dan guru menjadi tidak efektif karena di benak murid sudah ada opsi-opsi pengganti yang tertanam. Misalnya “naik ngak naik kamu pasti pindah”, “Saya tidak akan terima kalau anak saya tidak naik”, dst... Awal minggu ini saya melihat WA dari orangtua yang menyampaikan bahwa anaknya sakit/harus operasi/dst... sehingga anaknya seharusnya mendapat dispensasi/pertimbangan/dst... DI SAAT YANG SAMA MURID YANG BERSANGKUTAN BUKANNYA SEDANG MENGERJAKAN TUGAS TETAPI SEDANG TIDUR-TIDURAN DI RUANGAN AUDIO VISUAL SAMBIL MENONTON YOUTUBE (dan bukan bahan yang berkaitan dengan pelajaran). Saya perlu tekankan bahwa saya memahami dan mengerti maksud dari orangtua tersebut mengajukan dispensasi, tetapi saya juga 100% yakin keadaan putrinya tidur di lantai main youtube bukan keadaan yang dia bayangkan pada saat dia berkomunikasi dengan guru untuk membicarakan dispensasi tersebut. Kami akan memberikan semua kesempatan yang layak diberikan kepada semua murid. Kami tidak ingin ada murid kami yang tidak naik kelas. Tapi: Kami tidak akan menaikan murid yang tidak memenuhi kriteria kenaikan kelas. Kami tidak akan memberikan pertimbangan apapun bagi murid-murid yang hanya menunda-nunda tugas dan remedial. Apabila murid memenuhi kriteria kenaikan kelas, itu akan murni karena hasil usaha dia semata, dan itu adalah alasan kenapa kenaikan ada valuenya. |