Garam rasanya asin. Api rasanya panas. Kebijakan jalur sepeda rasanya perlu dikaji ulang. Tidak bertemu denganmu rasanya kosong tanpa arah.
Sebagai orang Indonesia, “rasa” adalah sebuah istilah yang hanya bisa “dirasakan”. Pernyataan ini absurd, tapi orang mengerti. Padahal “mengerti” adalah istilah yang lebih pas disematkan untuk hal-hal kognitif yang mana memisahkan dirinya dari hal-hal afektif (ya salah satunya rasa itu tadi). Sikap nggak enakan adalah salah satu perwujudan dari sangat cairnya konsep rasa di Indonesia. Semua informasi yang diberikan dan diterima seolah-olah secara kodrati harus menyatu dengan rasa tertentu. Pernah ada dialog saya dengan salah satu orang tua calon murid ketika penerimaan murid baru, sebuah pertanyaan sederhana, “Apakah anak Ibu ada riwayat penyakit? Saya melihat ada gelagat yang agak aneh seperti sesak napas mau kolaps ketika tadi saya ngobrol dengannya.” Jawabannya lumayan mengejutkan, “Maksud Bapak, anak saya penyakitan?!” Ya, saya memparafrasakan kalimat dialognya dengan hiperbolis, namun bahwa saat itu mood dialog menjadi negatif benar-benar terjadi hanya karena ada penerimaan informasi yang salah paham. Pernahkah menonton film kemudian menangis tersedu-sedu? Saya pernah dan saya senang dengan film itu. Lah, menangis kok senang? Lain waktu saya pernah tertawa bareng dalam produksi teater, tapi lalu menangis ketika tirai panggung ditutup usai pentas. Mengapa menangis ketika senang? Juga pernah kecelakaan ketika touring motor, sakit dan frustrasi, tapi sekarang mengingat kembali itu menjadi memori yang bikin tertawa. Kenapa bisa kontradiktif begini? Ayuk, kita coba menjelajahi alam rasa kita sejenak.
0 Comments
|
SMA 1 PSKD
Jalan Pangeran Diponegoro No. 80 RT.2/RW.6, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10430 Telp. (021) 3904418 / WA: 0821-8888-7753 tatausaha@sma1pskd.com |
DIRECTORY
|
©2023
SMA 1 PSKD Media |