SMA 1 PSKD
  • About
    • Principal's Note
    • Online Learning
    • Akademik
    • Rules
    • FAQs
    • Testimony >
      • Students
      • Alumni
    • Achievements
  • Pendaftaran
    • Pendaftaran Online
    • Biaya Pendidikan
    • Keringanan Biaya
  • Our Comunity
    • Activities >
      • Christmas Celebration
      • BAKSOS
      • Basketball
      • Extra-Curriculer
      • Karate
      • Retreat
      • Study Tour Melbourne
      • PMB
      • LDKS
    • Students >
      • OSIS & MPK
      • MPK
    • Blog >
      • Sudents' Blog
      • MPK Blog
      • Principal's Blog
      • Teachers Blog
    • Media PSKD
    • PSKD Schools
  • Gallery & Portfolios
    • Portfolios
    • Videos
    • Photos >
      • 2017 - 2018 >
        • 17 AGUSTUS
        • LDKS
        • Pelantikan Osis
        • Retreat
      • 2016 - 2017 >
        • 17 Agustus
        • Christmas
        • Pelantikan OSIS
        • Rapat Kerja OSIS
        • Retreat
    • Liputan Media
  • Contact Us
  • More...
    • Documents
    • Now Hiring
    • Sponsors / Suppliers
    • Our Suppliers / Partner
  • About
    • Principal's Note
    • Online Learning
    • Akademik
    • Rules
    • FAQs
    • Testimony >
      • Students
      • Alumni
    • Achievements
  • Pendaftaran
    • Pendaftaran Online
    • Biaya Pendidikan
    • Keringanan Biaya
  • Our Comunity
    • Activities >
      • Christmas Celebration
      • BAKSOS
      • Basketball
      • Extra-Curriculer
      • Karate
      • Retreat
      • Study Tour Melbourne
      • PMB
      • LDKS
    • Students >
      • OSIS & MPK
      • MPK
    • Blog >
      • Sudents' Blog
      • MPK Blog
      • Principal's Blog
      • Teachers Blog
    • Media PSKD
    • PSKD Schools
  • Gallery & Portfolios
    • Portfolios
    • Videos
    • Photos >
      • 2017 - 2018 >
        • 17 AGUSTUS
        • LDKS
        • Pelantikan Osis
        • Retreat
      • 2016 - 2017 >
        • 17 Agustus
        • Christmas
        • Pelantikan OSIS
        • Rapat Kerja OSIS
        • Retreat
    • Liputan Media
  • Contact Us
  • More...
    • Documents
    • Now Hiring
    • Sponsors / Suppliers
    • Our Suppliers / Partner

Belajar Menjadi Murid di SMA 1 PSKD

4/11/2021

0 Comments

 
Saya suka dengan istilah murid karena dari asal katanya berarti “seorang yang mencari”. Orang yang mencari sesuatu akan mendapatkan kebahagiaan ketika menemukannya. Ada struggle ketika mencari dan ada kepuasan ketika menemukan. Semakin kuat struggle-nya, semakin puas penemuannya. Buat saya seorang guru juga mestinya menjadi seorang murid, dan seorang murid harus belajar menjadi “seorang murid”. Pencarian tidak pernah usai dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Maka untuk seorang yang mengejar keabadian, menjadi murid adalah salah satu jalan yang paling masuk akal, karena cinta seringkali tidak abadi. (Halah!)
​
Mengembangkan Murid Yang Utuh dan Secara Utuh

SMA 1 PSKD melaksanakan pembelajaran yang bersifat humanistik, di mana murid menjadi pusatnya. Tidak perlu memaksa murid untuk belajar. Malahan ketika iklim kepercayaan dan rasa hormat di kelas atau sekolah telah terbangun, hal ini memungkinkan terjadinya proses murid memutuskan apa dan bagaimana mereka belajar, mempertanyakan otoritas/wewenang, dan mengambil inisiatif dalam membentuk diri mereka sendiri (Sadulloh dalam Pohan, 2019: 150).

Karena fokus pendidikan ada pada murid, guru tidak boleh memberikan begitu saja apa yang murid cari. Guru mengarahkan murid bagaimana cara mencarinya. Ibarat kita masuk ke sebuah toko, kita menanyakan di mana bisa mendapatkan obat, pramuniaga memberi tahu di area mana kita bisa menemukannya. Di rak obat kita bisa mencari sendiri obat yang pas dengan membaca komposisi dan khasiatnya. Sesekali pramuniaga memberikan informasi mengenai obat-obat tertentu, dan kita bisa bertanya kepada mereka. Kan, tidak mungkin pramuniaga menjawab, “Obat sakit perut hanya Antimaag. Anda harus beli ini, yang lain tidak manjur.”

Atau supaya lebih dekat dengan konteks belajar, saya berikan pemisalan mengenai pustakawan dan pengunjung perpustakaan. Kita tidak mungkin menanyakan hal yang sangat spesifik mengenai suatu topik, namun pustakawan bisa merekomendasikan di rak mana buku mengenai topik tersebut bisa didapatkan. Sesekali pustakawan merekomendasikan buku yang barangkali menarik dan cocok, tapi keputusan mengenai buku apa yang dibahas, murni adalah keputusan dari murid.

Guru memposisikan diri sejajar dengan murid dan berusaha membangun hubungan personal yang baik. Hubungan personal yang baik akan mendorong munculnya rasa respek dan percaya secara natural, apalagi bila guru mampu menunjukkan kepribadian dan sikapnya yang genuinely excited ketika proses pembelajaran berlangsung. Excitement itu menular. 

Kita tidak ingin melakukan pendekatan behavioristik, di mana guru/sistem saja yang menciptakan stimulus-stimulus untuk mendapatkan respon dari murid, misalnya seperti ancaman nilai jelek atau tidak naik kelas ketika tidak melakukan apa yang diminta kurikulum. Pendekatan behavioristik semacam ini mungkin baik dilakukan ketika anak masih dalam tahap awal proses belajar dan berpikir, namun ketika anak telah mulai mematangkan cara berpikir mandirinya pada usia remaja, pendekatan ini malah justru membunuh kreativitas, rasa penasaran, dan berani berkreasi. Dorongan yang muncul dalam belajar dengan pendekatan behavioristik bukan lagi passion (merasa layak “berdarah-darah” untuk berkreasi) melainkan survival (fight or flight, skor bagus atau dimarahi).

Sejatinya tugas-tugas dalam pembelajaran fokus utamanya adalah melatih proses berpikir, bukan untuk dinilai (skor) belaka. Matematika misalnya bukan ilmu hitung-hitungan untuk mendapatkan hasil, melainkan latihan berpikir dan memecahkan masalah. Begitu fokus matematika terjebak pada jawaban pertanyaan yang benar atau salah saja, kita sudah tersesat. Ingat bagaimana cara kita belajar hitungan satu tambah dua waktu kecil? Kita tidak mungkin diajari pertambahan dengan langsung melihat soal di papan tulis bertulisan “1 + 2 = ?” karena terlalu abstrak untuk anak kecil, melainkan sebuah dialog dengan peragaan, “Ini ada satu apel. Ibu taruh lagi satu apel dan satu apel lagi. Sekarang jumlah apelnya jadi berapa, coba dihitung? Satu, dua, tiga!”

Oleh karena itu idealnya murid belajar tidak dalam kondisi kosong yang pasif disuapi. Dalam era overloaded-information semacam ini, yang jauh lebih dibutuhkan murid adalah ilmu-ilmu untuk menyikapi segala kelebihan informasi itu. Bagaimana menentukan informasi yang bersifat benar/hoax/promosi/ilmiah. Bagaimana mengelaborasikan informasi yang murid dapatkan dan bagaimana menjadikan semua bahan obrolan itu menjadi bahan belajar yang menarik. Maka penting bagi guru untuk mengikuti tren. Bila dalam masyarakat awam tren terjadi secara natural, untuk guru mengikuti tren adalah kewajiban. Sebenci-bencinya saya terhadap tren tontonan tidak berfaedah di media yang isinya banyak prank tidak etis dan cenderung mengarah bullying, kefanaan pamer kekayaan, mengolok-olok sebagai bahan bercandaan, talkshow yang numpang sensasi, hingga hal-hal mengarah asusila kita mesti konsumsi itu semua untuk jadi wacana diskusi sehari-hari. 

Maka peran aktif murid harus benar-benar terlihat oleh seluruh murid dalam seluruh segi. Dalam pertemuan kelas murid boleh dan justru didorong untuk membahas suatu topik. Bertanya dan menjawab harus disadari oleh seluruh ekosistem sebagai bentuk dialektika pembelajaran, suatu diskusi yang konstruktif untuk bersama; bukan penilaian berujung skor di mana murid malah menertawakan yang bertanya atau guru malah menjawab, “Kan sudah diajarkan?”. Hal-hal itu justru meruntuhkan bangunan kepercayaan diri dan rasa penasaran murid. 

Selain itu, salah satu kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri, di mana manusia butuh mengkreasikan suatu potensi dirinya yang dia cintai dan ingin diperjuangkan untuk mencapai level tertentu. Hal ini tidak kalah penting, malah mungkin bisa dibilang lebih penting dari belajar hal-hal yang saklek dari kurikulum. Ketika seorang murid dengan menggebu-gebu, penuh hasrat mencoba berlatih mengembangkan bakat mereka, mengapa kita halangi dengan kalimat, “Itu tidak lebih penting daripada nilai-nilai kamu di rapor.”?

Apa saja bidang menarik saat ini? Apa yang potensial menarik di masa depan? Itu yang idealnya difasilitasi oleh sekolah. Maka kegiatan-kegiatan seni seperti teater, dance, sastra dan puisi, band dan vokal, tata rias, ilustrasi dan desain, film dan broadcasting; serta kegiatan sports seperti basket, futsal, handball, hoki, karate, dan esports akan terus berusaha saya dukung.

Murid dan seluruh ekosistem sekolah harus menciptakan kondisi di mana ada rasa penasaran, hasrat eksploratif, ada struggle, ada kegagalan yang dievaluasi, ada kesuksesan yang dipuji, dan ada suasana hangat, saling menerima, dan saling mendukung yang menimbulkan rasa nyaman murid ketika berada bersama-sama satu dengan yang lainnya.

Mengembangkan Murid untuk Sesama dan Lingkungan

Bersekolah juga merupakan adalah proses enkulturasi budaya, di mana murid secara sadar atau tidak sadar mencapai kompetensi dalam budayanya dan menginternalisasi budaya tersebut. Maka murid disimulasikan sebagai pribadi yang dewasa dalam menentukan dan bertanggung jawab atas pilihan hidupnya selama masa bersekolah. Seluruh ekosistem sekolah dibangun untuk tidak memandang kegagalan sebagai sesuatu yang tabu, memalukan apalagi dijatuhkan, melainkan sebuah langkah lain untuk belajar. Maka kita sangat menghargai kegagalan karena berarti murid ini melakukan sesuatu. Sebaliknya kita tidak mentoleransi sikap menyerah sebelum berjuang apalagi jika tidak melakukan apa-apa. Jangan berani-beraninya mengatakan Anda gagal kalau tidak melakukan apa-apa.

Simulasi itu menjadikan murid sebagai inisiator sebagian besar kegiatan sekolah secara komunal; mulai dari bagaimana murid belajar untuk mengatur diri mereka melalui tata tertib yang mereka rancang dan awasi sendiri, bersama-sama mengajak teman-temannya untuk berproses, merancang ide acara sekolah yang menarik dan melaksanakannya bareng-bareng, hingga berperan aktif memberikan saran-saran perubahan agar sekolah menjadi lebih baik.

Kadang-kadang kita pun mendapatkan aturan-aturan yang menarik, misalnya bebas berkreasi dengan penampilan rambut dan riasan, dalam penampilan berpakaian, dalam penggunaan aksesori, di mana semua harus dalam batas wajar. Di mana batas wajarnya? Di situlah dialektika terjadi. Lalu muncul dialog antara murid dengan sekolah untuk menentukan batas-batas itu. Dengan ini sekolah menjadi ekosistem pembelajaran yang hidup dan dinamis.

Proses ini dibarengi dengan bekal-bekal arahan moral dan etika dalam pembelajaran informal sehari-hari. Murid dapat berkonsultasi dengan guru mengenai bagaimana merancang dan melaksanakan program kerja atau project, menerima koreksi-koreksi tata krama dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai bagian dari masyarakat, hingga secara tidak sadar murid telah mendapatkan pengalaman berkreasi secara terstruktur dan rapi pada penghujung sekolah. Keterampilan dan kecakapan hidup sebagai orang dewasa juga penting untuk diberikan. Literasi sains, budaya, media, digital, dan keuangan, sikap etis terhadap lingkungan dan makhluk lain, dan sikap yang konsisten selalu berusaha menjadi “garam dunia”. Saya sih percaya ini bekal yang tidak ternilai harganya. Setelah lulus dari SMA 1 PSKD, murid menjadi lebih dewasa dan percaya diri berpartisipasi sebagai bagian dari masyarakat di mana pun mereka berkiprah nantinya.


​
0 Comments



Leave a Reply.

    About

    Ignas Praditya

    Picture

    Archives

    July 2021
    June 2021
    April 2021
    January 2021
    October 2020
    July 2020
    June 2019
    June 2018
    December 2016
    July 2016
    May 2016
    March 2016
    December 2015
    November 2015
    July 2015
    March 2014


    Categories

    All

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.