SMA 1 PSKD
  • About
    • Principal's Note
    • Online Learning
    • Akademik
    • Rules
    • FAQs
    • Testimony >
      • Students
      • Alumni
    • Achievements
  • Pendaftaran
    • Pendaftaran Online
    • Biaya Pendidikan
    • Keringanan Biaya
  • Our Comunity
    • Activities >
      • Christmas Celebration
      • BAKSOS
      • Basketball
      • Extra-Curriculer
      • Karate
      • Retreat
      • Study Tour Melbourne
      • PMB
      • LDKS
    • Students >
      • OSIS & MPK
      • MPK
    • Blog >
      • Sudents' Blog
      • MPK Blog
      • Principal's Blog
      • Teachers Blog
    • Media PSKD
    • PSKD Schools
  • Gallery & Portfolios
    • Portfolios
    • Videos
    • Photos >
      • 2017 - 2018 >
        • 17 AGUSTUS
        • LDKS
        • Pelantikan Osis
        • Retreat
      • 2016 - 2017 >
        • 17 Agustus
        • Christmas
        • Pelantikan OSIS
        • Rapat Kerja OSIS
        • Retreat
    • Liputan Media
  • Contact Us
  • More...
    • Documents
    • Now Hiring
    • Sponsors / Suppliers
    • Our Suppliers / Partner
  • About
    • Principal's Note
    • Online Learning
    • Akademik
    • Rules
    • FAQs
    • Testimony >
      • Students
      • Alumni
    • Achievements
  • Pendaftaran
    • Pendaftaran Online
    • Biaya Pendidikan
    • Keringanan Biaya
  • Our Comunity
    • Activities >
      • Christmas Celebration
      • BAKSOS
      • Basketball
      • Extra-Curriculer
      • Karate
      • Retreat
      • Study Tour Melbourne
      • PMB
      • LDKS
    • Students >
      • OSIS & MPK
      • MPK
    • Blog >
      • Sudents' Blog
      • MPK Blog
      • Principal's Blog
      • Teachers Blog
    • Media PSKD
    • PSKD Schools
  • Gallery & Portfolios
    • Portfolios
    • Videos
    • Photos >
      • 2017 - 2018 >
        • 17 AGUSTUS
        • LDKS
        • Pelantikan Osis
        • Retreat
      • 2016 - 2017 >
        • 17 Agustus
        • Christmas
        • Pelantikan OSIS
        • Rapat Kerja OSIS
        • Retreat
    • Liputan Media
  • Contact Us
  • More...
    • Documents
    • Now Hiring
    • Sponsors / Suppliers
    • Our Suppliers / Partner

Tik Tok Tik Tok

10/16/2020

0 Comments

 
Seperti suara detik jam, waktu selalu berjalan. Nama TikTok seakan-akan mengingatkan bahwa saat ini, saat nanti, adalah saat baru, detik demi detik. Segala yang baru awalnya dicemooh, tahu-tahu menjadi lazim. Siapa yang sangka aplikasi mobile video iseng yang dipionirkan aplikasi serupa Vine dan Musical.ly ini bisa jadi fenomena pop culture seperti saat ini?

Ada sebuah challenge TikTok yang menggunakan sound bertajuk Chinese Street Fashion, sebuah musik EDM dengan beat yang bombastis kece, mengiringi penampilan jalan di tempat yang menghasilkan ilusi seakan berjalan di catwalk seperti fashion show. Sayangnya liriknya jelek dan sangat tidak appropriate. Berikut saya berikan cuplikan liriknya yang saya sensor beberapa kata-kata yang terlalu vulgar.

"***** * ******* ***** * **** **!
* ***** **** *** * **** **!"

Jelek dan tidak bermakna, bukan?
Mau tak mau pop culture memang dipenuhi hal-hal tidak bermakna. Banal. Disposable. Burn After Reading. Kitsch. "Sampah". 

Apa mungkin di era postmodern/post truth ini selera nyeni anak muda kembali bergeser pop-kitsch-neodadais? Setiap swipe atas TikTok terasa seakan menampar-nampar seniman-seniman "aliran serius" yang berusaha mempertanggungjawabkan makna akademis-rasa-estetika dalam setiap karyanya.

Ngapain? TikTokers nggak mikir seribet itu, cukup sentuh-seka layar ponsel untuk mendapatkan efek visual dan audio dengan segala motion graphics, animasi, filter warna, dan augmented-reality serta efek2 suara yang aneh-aneh, dan menghasilkan video keren layaknya hasil ulik seniman videografi profesional selama bertahun-tahun. (Ya, saya curcol.)

Ironisnya, sebagai sebuah "sampah", ekspresi TikTokers dalam meramu video2 justru bisa dibilang cukup artsy garis miring serius. Dance choreography challenge yang banyak dan variatif itu selalu merangsang rasa penasaran untuk mencoba-meniru-melakukan, dan diulang berkali-kali sampai dirasa perfect. Duet nyanyi disyut ulang terus sampai tidak fals. Ada yang sengaja nongkrong bareng teman seharian untuk bikin sketsa film mini. Ada yang murah hati bagi-bagi tutorial dan tips dalam topik yang sangat-sangat variatif.

Tidakkah semua kegiatan nyeni juga melakukan hal yang sama?

Pergeseran produksi dan konsumsi produk seni menjadi sangat dekat dan personal. Mungkin saya harus terpaksa sedikit mengamini ramalan teman saya pegiat MLM yang sempat memprospek saya dengan kalimat, "Di masa depan, jualan barang itu kayak gini, Bro, door to door dan mulut ke mulut!". Tak dinyana door to door ternyata mewujud gadget sementara mulut ke mulut mewujud endorsement para influencers dan kolom komentar pada postingan viral.

Gimana stasiun televisi gak kejang-kejang?

Pendapatan terbesar televisi berasal dari iklan. Makin prime time, makin mahal biaya pasang iklannya, makin tajir stasiun televisinya. Kalau brand-brand menggeser biaya promosi mereka ke ranah mobile, maka matilah televisi. Sial dan sayangnya, stasiun televisi Indonesia bukannya memperbaiki kualitas tayangan, malah mencoba mencari jalan yang orang tua banget: gugat melalui hukum dengan dalih moralitas dan nasionalisme, seakan-akan mereka tidak pernah ambil andil dalam menayangkan hal-hal tidak mendidik.

Jauh lebih baik nyasar di FYP TikTok dengan konten kreatif dan edukatif daripada nonton goyang cuci-jemur ala Dahsyat. Wahai kalian yang menganggap TikTok alay dan jamet, saya malah belajar hal-hal ini dari TikTok: tips berbahasa Inggris, kehidupan di Jepang, Korea, dan negara lain, tutorial foto dan videografi, tips fashion, tips cari kerja, tips wawancara, tips mengerjakan karya tulis, matematika, sejarah, dan sumpah masih banyak yang lain. Padahal kalau dipikir-pikir, sebagai generasi 90-an yang dibesarkan oleh kartun Minggu pagi (dan diinterupsi paksaan pergi ke gereja atau pertandingan tinju), pada zamannya konten televisi sebenarnya tidak seproblematis 10 tahun belakangan. Entah apa yang membuat penurunan kualitas ini.

Mestinya ada lagu baru, update dari Video Kills The Radio Stars. Nyatanya bahkan sejak revolusi industri, yang namanya teknologi baru pasti selalu menggeser bentuk tatanan yang sebelumnya. Radio digeser oleh televisi. Seluloid foto digeser oleh sensor. Analog digeser oleh digital. Koran dan majalah digeser oleh LINE Today. Perubahan bukan hal baru, ojo kagetan ojo gumunan ojo dumeh.

Begitu juga sistem pendidikan formal dunia yang telah mapan ratusan tahun ini. Punyakah kita visi akan perubahan tatanan pendidikan ketika tatanan saat ini bergeser?

Sekonyong, coronavirus menyahut, "Eits, mau tahu rasanya?" :)

Lebak Bulus, 1 September 2020
Ignas Praditya

(Dimuat pada Citra Pendidikan PSKD Edisi Agustus 2020)
0 Comments



Leave a Reply.

    About

    Ignas Praditya

    Picture

    Archives

    July 2021
    June 2021
    April 2021
    January 2021
    October 2020
    July 2020
    June 2019
    June 2018
    December 2016
    July 2016
    May 2016
    March 2016
    December 2015
    November 2015
    July 2015
    March 2014


    Categories

    All

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.