Selamat malam bapak/ibu. Seperti yang sudah disampaikan melalui surat edaran di awal minggu, besok merupakan batas deadline untuk nilai tahun ajaran 2017/2018. Sampai dengan saat ini baru sekitar 20 murid yang sudah memenuhi kriteria kenaikan kelas. Dalam seminggu terakhir ini saya dan dewan guru mendapat banyak sekali sms/telp/wa dari orangtua murid, dan jujur saja. Saya sangat sangat kecewa. Dari semua kontak yang masuk ke kami, mayoritas pesan lebih ke arah menawar dealine, menjelaskan kenapa anak dari orangtua bersangkutan seharusnya mendapat dispensasi tambahan, memarahi guru karena “anak saya kan bukan mau jadi guru matematika”, dst...
Sekarang saya tanya begini saja ke bapak ibu: BAPAK/IBU MAU KAMI MELAKUKAN APA? Menuntaskan tugas yang jelas-jelas dibuat asal hanya karena orangtua sudah menelpon? Memperpanjang waktu untuk murid yang selama satu semester lebih sering memperhatikan media sosialnya daripada mengulang kembali bahan pelajaran? Atau bapak/ibu ingin kita bermain sandiwara dan senyum saja dan menuntaskan semua murid? Sebenarnya murid-murid kami ini dititipkan kepada kami untuk dididik, atau hanya untuk dikasih ijasah dan raport kenaikan? Terus terang kami sulit mendidik murid kami apabila setiap kali ada sesuatu yang mungkin tidak enak bagi anak, orangtua langsung menelpon dan marah-marah. Murid dipulangkan karena terlambat (sesuai peraturan sekolah, dan sudah diinfokan dengan pemberitahuan dari akhir semester sebelumnya), mendapat WA “saya akan tanyakan ke dinas pendidikan perihal aturan ini”. Murid yang tidak menyelesaikan tugas dan disuruh mengulang/remedial mendapat telepon marah-marah “Emang anak saya sekolah seni, masa tugas seni tidak bisa diterima saja.”, dst... Apakah bapak/ibu tidak menyadari bahwa hal-hal itu justru menjadi “reinforcement” yang tidak baik bagi anak-anak. Apakah kebetulan bahwa ada korelasi tinggi diantara orangtua-orangtua yang sering seperti ini dan murid-murid yang nilainya kurang? Anak tidak akan berusaha kalau dia merasa bahwa orangtua akan membela dia meskipun dia salah. (Kalau mau bilang saya lempar tanggung jawab lagi, silahkan.). Apabila ada guru yang memang merugikan murid dengan sengaja maupun tidak sengaja, pasti akan ditindak dengan tegas (saya rasa track record saya sudah membuktikan ini). Kalau ada murid yang memang memiliki masalah akademik/kemampuan di salah satu pelajaran tertentu, pasti akan kami tangani dan dampingi sehingga murid tersebut mendapat kesempatan yang adil untuk bisa memenuhi kriteria kenaikan. Saya bisa memahami kekhawatiran orangtua terhadap putra/putrinya naik/tidak naik, tapi apakah kenaikan/kelulusan merupakan tujuan tunggal bapak ibu menyekolahkan putra/putri bapak ibu di sekolah kami? Atau bapak/ibu memang merasa bahwa guru-guru saya sengaja mempersulit atau merugikan murid kami? Atau bahwa kami INGIN murid tidak naik kelas? Kalau tingkat kepercayaan bapak/ibu terhadap sekolah saya, staff saya, dan saya serendah itu, saya musti menyarankan bapak/ibu untuk mempertimbangkan ulang beberapa hal. Kenaikan dan kelulusan merupakan sesuatu yang musti diraih dengan usaha. Kriteria kenaikan dan kelulusan di sekolah kita SANGAT jelas dan SUDAH DIBERITAHU DARI MINGGU PERTAMA MURID BERSEKOLAH DI SMA 1 PSKD dan sudah dikatahui oleh semua orangtua dan murid (tetapi tetap saja, diakhir-akhir tahun ajaran seperti ini, ada saja orangtua yang menanyakan “kenapa kenaikan kelas di sini tidak seperti di sekolah lain. Tidak adil bagi anak. Membebani belebihan. Dst...”.) Memang kriteria kita sengaja dirancang untuk sedikit menantang murid untuk menghadapi batasan-batasan yang ada di dalam dirinya. Tapi tidak mustahil kok untuk memenuhi kriteria tersebut, dan apabila murid berusaha dengan sungguh-sungguh maka kemungkinan besar dia akan memenuhi kriteria tersebut. Dan ada satu hal besar lain yang mungkin tidak disadari. Perilaku seperti ini menghilangkan kesempatan putra/putri bapak/ibu untuk merasakan sense of achievement yagn akan dia dapat dari bisa mengatasi seuatu yang mungkin ia rasa sedikit sulit bagi dirinya (nilai/akademik) dengan usaha dan kemampuan dia sendiri. Perhatikan saja rasa percaya diri dan kebanggaan yang dimiliki oleh anak-anak yang berhasil mencapai target tersebut. Mereka menjadi confident dengan kemampuan mereka dan dengan kesanggupan mereka untuk mengatasi hal-hal sulit. Saat ini diantara murid yang sudah tuntas ada beberapa murid pindahan (yang selain mengejar nilai, juga harus menjalani proses penyesuaian yagn seringkali tidak mudah), ada murid-murid yang berada di program pembinaan basket (yang jadwal kegiatan mereka sangat padat dan sangat melelahkan), dan ada anggota BPH OSIS (yang juga harus memenuhi tanggung jawab mereka di OSIS sambil mengurus keadaan akademik mereka). Kenapa anak-anak ini bisa tuntas, sedangkan yang lain tidak? Padahal dari segi beban kegiatan dan kepadatan jadwal mereka jauh lebih menyulitkan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab akademik. Saya tidak mau menjatuhkan atau meninggikan murid manapun, saya hanya ingin semua orangtua bersikap OBJEKTIF dan melihat keseluruhan keadaan putra/putri mereka. Di sistem kami, kenaikan dan kelulusan merupakan hasil akhir dari proses selama satu periode studi. Bukan hasil dari orangtua yang terus melobby sekolah untuk terus-terusan memberikan dispensasi kepada murid. Kembali ke judul tulisan ini: “Lame Duck” merupakan suatu frase di bahasa inggris yang menggambarkan keadaan dimana seorang atau suatu hal menjadi tidak efektif karena sudah ada opsi lain yang muncul. Istilah ini bisa digunakan untuk menggambarkan seorang presiden yang penggantinya sudah terpilih tetapi belum terlantik, atau suatu pemimpin yang sudah menyatakan akan pensiun tapi belum mundur. Dalam konsep ini saya menggunakan frase “lame duck” untuk menggambarkan keadaan dimana staff dan guru menjadi tidak efektif karena di benak murid sudah ada opsi-opsi pengganti yang tertanam. Misalnya “naik ngak naik kamu pasti pindah”, “Saya tidak akan terima kalau anak saya tidak naik”, dst... Awal minggu ini saya melihat WA dari orangtua yang menyampaikan bahwa anaknya sakit/harus operasi/dst... sehingga anaknya seharusnya mendapat dispensasi/pertimbangan/dst... DI SAAT YANG SAMA MURID YANG BERSANGKUTAN BUKANNYA SEDANG MENGERJAKAN TUGAS TETAPI SEDANG TIDUR-TIDURAN DI RUANGAN AUDIO VISUAL SAMBIL MENONTON YOUTUBE (dan bukan bahan yang berkaitan dengan pelajaran). Saya perlu tekankan bahwa saya memahami dan mengerti maksud dari orangtua tersebut mengajukan dispensasi, tetapi saya juga 100% yakin keadaan putrinya tidur di lantai main youtube bukan keadaan yang dia bayangkan pada saat dia berkomunikasi dengan guru untuk membicarakan dispensasi tersebut. Kami akan memberikan semua kesempatan yang layak diberikan kepada semua murid. Kami tidak ingin ada murid kami yang tidak naik kelas. Tapi: Kami tidak akan menaikan murid yang tidak memenuhi kriteria kenaikan kelas. Kami tidak akan memberikan pertimbangan apapun bagi murid-murid yang hanya menunda-nunda tugas dan remedial. Apabila murid memenuhi kriteria kenaikan kelas, itu akan murni karena hasil usaha dia semata, dan itu adalah alasan kenapa kenaikan ada valuenya.
1 Comment
Saya menulis ini tanggal 24 Desember 2016, sebentar lagi banyak diantara kita akan mulai berangkat ke Gereja, Rumah Keluarga, atau tempat-tempat lain untuk merayakan malam Natal, dan memulai "prosesi" akhir tahun 2016 ini. Saya rasa bukan hal yang terlalu mengada-ngada kalau saya bilang bahwa tahun 2016 ini merupakan tahun yang diwarnai oleh perpecahan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain di dunia. Di Indonesia isu-isu seperti Korupsi, Perbadaan Suku, Penistaan Agama, Mayoritas/Minoritas, dst... seakan-akan menjadi bacaan sehari-hari. Bahkan di media sosial, saya pernah melihat postingan dari teman saya yang justru kaget pada saat dia membuka media sosialnya hari itu dan tidak melihat postingan yang berisikan kebencian dan perpecahan. Kadang-kadang terasa bahwa "Kristen" bukan lagi sebuah agama, tetapi sebuah label yang seakan menunjukan bahwa seseorang tidak layak dipercaya, dan tidak pantas dianggap. Hal ini tidak hanya terlihat di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain di dunia. Di Amerika Serikat, yang terjadi justru kebalikan kejadian di Indonesia, dimana "minoritas" yang mulai terpojok adalah yang beragama Islam. Di eropa, prasangka buruk mengenai penganut agama Islam terlihat di mana-mana. Di dalam sebuah dunia dimana kebencian dan perpecahan telihat dimana-mana, bisa terasa sulit untuk mengingat apa makna dari Natal. Saya yakin bahwa malam ini, di berbagai tempat di Indonesia akan ada orang yang berangkat kebaktian malam Natal dengan perasaan khawatir di hatinya seperti "Apakah ibadah akan aman?", "Apakah akan ada yang mencoba menghentikan kebaktian?", bahkan akan ada jemaat-jemaat tertentu yang tidak akan bisa melakukan ibadah karena tempat ibadah mereka belum "memiliki Ijin", atau keberadaan mereka "ditolak masyarakat". Tapi ingat, itu tidak hanya terjadi di Indonesia! Di negara lain ada orang yang ingin menjalankan sholat, tetapi tidak bisa karena dilarang oleh "masyarakat", ada wanita berhijab yang jilbabnya dilepas secara paksa karrena "bukan budaya sini". Tanpa kita sadari, pelan-pelan dunia mulai berubah dari kebersamaan menjadi dunia yang memegang konsep "Kita" melawan "Mereka", yang mulai mengatakan bahwa perbedaan merupakan hal yang buruk dan bahwa kita hanya seharusnya menghargai yang sama dengan kita. Di dunia seperti itu, dimanakah Natal? Bagaimana caranya saya harus mengajarkan kepada anak-anak saya (kandung DAN di sekolah), tentang toleransi, kebaikan, dan saling menghormati, kalau dunia yang mereka lihat setiap hari membuat mereka merasa bahwa meraka wajib memilih salah satu sisi? Pertama-tama kita mulai dengan penolakan terhadap perpecahan! Pada saat ibadah malam ini dan besok hari, jangan berdoa untuk "semua orang Kristen", tetapi berdoa untuk "SEMUA ORANG". Jangan hanya meminta Tuhan "membuka hati" orang lain, tetapi minta juga agar Tuhan "membuka hati" kita semua... Memang saat ini ada "kegelapan" di dunia.
Tetapi ingat, adanya "kegelapan" memberikan kesempatan bagi "cahaya" untuk benar-benar terlihat. Tidak ada anak yang terlahir dengan keinginan untuk membedakan atau merendahkan orang lain karena agama, suku, ras, atau hal lain... Itu sesuatu yang ia pelajari, sesuatu yang ia lihat di lingkungan di sekeliling dia dan ia mulai ikuti. Apabila seseorang anak melihat perpecahan dan kebencian maka itulah yang akan dia pelajari, tetapi apabila seorang anak melihat kasih, pengertian, dan kekeluargaan, maka itu juga yang akan dia teladani. Alkitab berkata "jadilah terang" dunia. Dari situlah kita mulai... Di saat ada perpecahan, tunjukan kekeluargaan... Di saat ada kebencian, tunjukan kasih... Di saat suara-suara disekeliling kita mengatakan bahwa seharusnya kalian saling membenci, saling menghindari, dan saling berselisih, lepaskan semua prasangka dan carilah hal-hal yang menyatukan kita, bukan hal-hal yang membedakan. Bagi saya Natal berkaitan erat dengan keluarga, dan keluarga tidak menghabiskan waktu dengan seribu satu hal yang membedakan, tetapi berpegang kepada hal yang menyatukan. Tahun 2016 ini terasa sangat panjang. Banyak sekali tantangan yang kita hadapi, sebagai seorang individu, sebagai suatu sekolah, dan sebagai suatu keluarga. Bagaimana cara kita telah melewati 2016 yang penuh dengan tantangan ini? dengan bergandeng tangan, menatap ke depan, dan menghadapi semua yang telah datang dengan kekuatan besar. Kekuatan keluarga, kekuatan kebersamaan..... Kekuatan Natal. Selamat Natal semuanya!!! Semoga Di musim Natal ini kalian semua menemukan arti Natal kalian masing-masing. Semoga musim Natal ini kalian lalui dengan ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian. Sampai berjumpa di tahun 2017 mendatang. Tahun yang akan kembali membawa tantangan dan cobaan. Tahun yang akan kita hadapi dan lalui. Bersama. Merry Christmas!!! God Bless you all, and God Bless Indonesia!!!! Yeah, people are really going to like this post..... Pada akhir bulan Juli ini, berberapa murid kami dipanggil untuk mewakili Indonesia dalam pertandingan ASEAN School Games yang diadakan di Chiang Mai Thailand pada tanggal 21-29 Juli 2016. Tentunya bagi sekolah manapun prestasi seperti itu merupakan prestasi yang sangat dibanggakaan, apalagi murid-murid kami yang berangkat berhasil mendapat medali perak di cabang masing-masing. Terlebih lagi salah satu murid tersebut merupakan anak angkat dari saya pribadi, jadi kebanggaan yang saya rasakan adalah sebagai kepala sekolah, tetapi juga sebagai orangtua. Namun meskipun perasaan bangga dan senang ada, ada juga suatu kekecewaan yang juga muncul dari keikutsertaan murid kami dalam event ini. Kekecewaan itu sebenarnya kekecewaan lama, yang kembali muncul pada saat melihat (dan mengalami sebagai orangtua), seberapa buruknya sistem support yang diberikan kepada atlit-atlit pembinaan. Pertama-tama dalam pemanggil pemain baik sebagai sebagai orangtua saya tidak menerima surat pemberihatuan apapun yang dikirimkan kepada orangtua dari pihak-pihak yang terkait. yang saya lihat hanya surat yang dialamatkan kepada: dan disertai tembusan kepada: dan satu surat yang diemail ke salah satu staff kepala sekolah yang dialamatkan sebagai berikut: Mungkin maksudnya adalah supaya atlit/pelajar yang bersangkutan tinggal mencetak berberapa copy dan mengisi alamat sesuai keperluan (orangtua/sekolah/dst...), dan meskipun hal tersebut memang bisa memudahkan proses pembuatan surat, hal tersebut seharusnya tidak boleh untuk surat sepenting pemanggilan dan ijin membawa anak keluar negeri (Standard legal untuk surat non-edaran/pengumuman adalah nama penerima diketik/cetak di dokumen dengan jelas). Kedua, dari awal pemanggilan, training camp, dan sampai dengan keberangkatan, sama sekali tidak ada surat/dokumen/atau permintaan ijin tertulis APAPUN yang diminta oleh pihak-pihak terkait. Ini berarti bahwa anak saya dipanggil Training Camp, Menjalani Karantina, kemudian pergi ke NEGARA LAIN, tanpa satupun klarifikasi atau permintaan pernyataan ijin tertulis dari orangtua yang menyatakan orangtua memberikan ijin.
Sebagai kepala sekolah, salah satu hal yang paling sering diingatkan oleh dinas pendidikan adalah pentingnya ijin tertulis untuk kegiatan sekolah apapun yang diadakan di luar sekolah. Dinas dan pengawas sangat menekankan hal ini karena berkaitan dengan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Apabila anak tidak bisa menunjukan ijin tertulis dari orangtua atau wali yagn berhak, maka anak tersebut tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut. Apabila sekolah secara hukum wajib mendapat ijin tertulis dari orangtua untuk membawa anak karyawisata, masa membawa anak ke negara lain tidak memerlukan ijin yang serupa? Masalah-masalah seperti ini bukan baru pertama kali saya temui, hampir setiap kali ada pemanggilan murid untuk POPWIL, POPNAS, atau event apapun, surat-surat yang seharusnya ada tidak pernah diberikan atau tidak lengkap/sesuai peraturan yang berlaku. Surat pemberitahuan ke sekolah sangat penting untuk mengurus masalah absensi dan kehadiran murid, serat menyiapkan program susulan untuk murid yang akan absen untuk jangka waktu yang signifikan. Surat permintaan ijin kepada orangtua (dan tanggapan ijin tertulis dari orangtua) WAJIB ada menurut hukum Indonesia, bagi anak dibawah umur (<18Thn) manapun yang mengikuti suatu kegiatan/perjalanan/dst... dan tidak didampingi oleh salah satu orangtua, wali atau anggota keluarga. Sudah berulang kali kami menghadapi masalah dimana seorang atlit pelajar sering absen tanpa ijin atau surat yang jelas, sehingga bermasalah secara akademik. Pada saat anak tersebut mulai terancam tidak naik kelas, pelatih yang dulu memanggil, atau salah satu pengurus yang mendampingi biasanya menghubungi sekolah dan menggunakan salah satu dari berbagai variasi dari argumen "Masa sih sekolah ngak dukung murid?", atau "Ini membawa nama DKI pak!!!", dst... dst... dst... Lah, kalau tidak ada surat atau pemberitahuan, emang saya tau dari mana mas??? Seringkali juga, yang saya temukan adalah pelatih atau pengurus yang menginginkan pemainnya "Dibantu sedikit nilainya, sebagai imbalan prestasinya", atau "Dinaikan saja, nanti saya yang jamin.". Well, ini sekolah.... dan apabila kita mengikuti saran-saran seperti itu apakah kita mengajarkan hal yang baik dan benar kepada murid-murid kita?? Pada saat permintaan-permintaan seperti itu saya tanggapi dengan pemberitahuan bahwa kita bisa menyediakan waktu untuk pelajaran susulan dengan gurunya dan/atau pengujian susulan untuk nilai kosong. Tidak jarang tanggapan yang saya terima adalah "Yah, nanti jadwal latihannya bagaimana?". Yah maaf aja kalau anda-anda ada yang tersinggung, tapi kalau jadwal latihannya lebih penting daripada pemain anda naik kelas, saya meragukan prinsip anda sebagai seorang pendidik! (Ya, pelatih masuk ke golongan pendidik, setidaknya di tingkatan Junior, Pelajar, dan Mahasiswa/i, dan pendidik memiliki tanggung jawab untuk mementingan perkembangan anak binaan mereka secara KESELURUHAN, dan tidak hanya satu aspek saja). Masalah terkait ijin dan perkembangan akademik seperti ini juga terlihat merambat ke tingkatan Mahasiswa, dan Profesional (meskipun di level profesional itu sudah merupakan pilihan masing-masing pemain), dimana seringkali atlit harus mengorbankan keadaan akademik mereka untuk mengikuti pelatnas, pelatda, pertandingan, dst... tanpa adanya support dari organisasi yang membawahi tim-tim tersebut (meskipun pengalaman saya mayoritas di bidang bola basket, namun saya sudah berulang kali menemukan hal yang sama di bidang-bidang lain). Dokumen, surat, dan proses akademik merupakan aspek-aspek yang sangat penting dari dunia oahraga pelajar dan mahasiswa/i namun seringkali saya temukan bahwa selama ada medali atau prestasi yang bisa diraih, hal-hal tersebut menjadi sekunder. Saya bulan lalu mengurus salah satu mantan murid saya yang mendapatkan beasiswa bola basket di salah satu kampus peserta LIMA nasional. Beasiswa dia ditarik karena "IPnya tidak mencukupi". Saya sedikit heran karena setahu saya IP murid tersebut sudah sesuai kontrak yang ditanda-tangani sebelumnya (dan kebetulan kampus tersebut suka mengundang kepala sekolah pada saat penandatanganan kontrak beasiswa, jadi saya tahu persis isi kontraknya). Kemudian saya tanyakan kepada pelatih tim tersebut. Pertama-tama jawabannya adalah bahwa IP untuk beasiswa sudah diubah menjadi 3.0 sehingga mantan murid saya itu tidak mencukupi IPnya, kemudian alasannya adalah karena "kontribusi di tim kurang". Meskipun sekilas alasan tersebut terdengar masuk akal, ada satu masalah besar di argumen itu. DI DALAM KONTRAK TIDAK ADA KLAUSUL TENTANG KONTRIBUSI TIM, DAN BATAS IP DI KONTRAK ADALAH 2.5. Saya memahami bahwa keaktifan mantan murid saya di di tim kampusnya memang tidak memadai, tetapi kontrak adalah kontrak. Kalau sebuah kampus ingin menggunakan "kontribusi di tim" sebagai salah satu standard dalam mencabut beasiswa, atau ingin IP minimal 3, sebenarnya sah-sah saja, tetapi HARUS ADA DI DALAM KONTRAKNYA!!! Tidak bisa "Ditambahkan" atau "diubah" dikemudian hari. Kekecewaan saya lebih meningkat lagi pada saat saya mengetahui bahwa ternyata ada anggota lain di tim kampus itu yang IPnya dibawah standard yang diberikan, tetapi tetap dipertahankan karena "ada kontribusi ke tim". Standard ganda? Yang saya tangkap adalah bahwa di tim ini kemampuan permainan lebih penting daripada perilaku yang baik dan akademik yang mencukupi, dan bahkan dianggap cukup untuk bisa melanggar PERJANJIAN TERTULIS DENGAN METERAI. Hal ini menjadi jelas sekali ke saya pada saat saya menanyakan perihal salah satu mantan murid saya yang lain yang juga bermain di tim itu dan "berkontribusi" kepada tim, tetapi sering membuat masalah, dan bahkan pernah bohong kepada pelatihnya dan mengatakan tidak hadir untuk pertandingan LIMA DKI karena kecelakaan padahal ditahan karena suatu hal lain. Pelatihnya mengatakan bahwa "yah selama di lapangan mereka bisa berkontribusi, di luar lapangannya sebenarnya bukan urusan pelatih". Jujur saja, pada saat saya mendengar penjelasan tersebut kekecewaan saya sangat luar biasa. Sebagai guru, kepala sekolah, dan orangtua, kita melepas anak-anak kita kepada institusi-institusi pendidikan yang kita harapkan akan semakin membantu mereka berkembang sebagai manusia, dan bukan kepada tempat-tempat yang mengajarkan mereka bahwa "selama kamu bisa berkontribusi kepada tim, kamu bebas ngapain saja tanpa perlu memikirkan konsekuensi". Adanya kebiasaan seperti itu dibanyak tempat merupakan alasan mengapa dalam konteks LIMA, saya pribadi selalu ingin murid-murid saya melanjutkan ke program di Universitas Pelita Harapan. Berberapa tahun yang lalu, seorang murid kita yang bermain di UPH melanggar "Code of Conduct" yang diterapkan di UPH. Saat itu UPH sudah masuk ke putaran akhir LIBAMANAS dan murid kita itu merupakan salah satu tim inti mereka. Tanpa ragu dan tanpa mempertimbangkan bahwa apabila murid kita tersebut tidak turun bertanding kemungkinan menangnya akan berkurang, head coach UPH (Coach Metcalfe) memutuskan untuk mencabut hak bermain pemain tersebut. Ini merupakan keputusan yang memiliki efek sangat negatif kepada kesempatan UPH untuk memenangkan LIBAMANAS tahun itu. BUT IT WAS THE RIGHT DECISION!!! Beliau sudah berulang kali memberikan "memarkir" mahasiswa/i di timnya yang standard akademiknya menurun, sehingga mereka tidak bisa bertanding atau bahkan berlatih sampai keadaan akademik mereka membaik, padahal pemain-pemain tersebut akan sangat membantu dalam mengejar prestasi. Lewat keputusan-keputusan seperti itu, "Coach Met" menyatakan dengan sangat jelas bahwa lebih penting mendidik karakter dan kepribadian mahasiswa/i yang dia bina daripada mengejar piala, and I will forever respect him for putting "right" over "trophies". Sayangnya pelatih-pelatih yang berpikir serupa jarang terlihat. Im sure they are there, we just see more of the coaches who care more about winning (because lets face it, they win a lot, but thats a different blog post). Tapi bukan hanya masalah surat, ijin, akademik, atau pengembangan diri pemain yang menjadi masalah yang saya temui dalam proses pembinaan dan pemanggilan atlit pelajar. Masalah lain yang sering saya temui adalah masalah tanggung jawab apabila ada cedera. Selama saya menjadi kepala program pengembangan olahraga di PSKD, sudah berberapa kali kejadian dimana murid kami di panggil untuk salah satu tim yang mewakili daerah asalnya, DKI (biasanya untuk pelajar), dst... yang cedera pada saat mengikuti kegiatan tim tersebut, dan apa yang terjadi? pemain tersebut dicoret dan kembali ke sekolah, dan kitalah yang harus mengurus semua biaya, perawatan, dst... yang berkaitan dengan cedera tersebut. Saya masih mengingat pada saat salah satu pemain saya cedera dalam proses persiapan untuk salah satu event pelajar yang membawa nama DKI, saya menanyakan apakah ada bantuan biaya, atau bahkan rekomendasi dokter yang bisa menangani (karena cederanya pada saat sparring di tim tersebut), dan jawaban yang saya dapat adalah "Tidak ada budgetnya. kalau mau yang murah, di bawa ke tukang urut saja, saya punya kenalan yang jago urutnya". Yeah, Wow.... @.@". Anak tersebut kemudian kita bawa ke dokter, dan diberikan proses terapi dan rehabilitasi yang memakan waktu sekitar 1 bulanan, setelah anak itu sembuh, bisa tebak apa yang terjadi?? yah, benar, langsung dipanggil lagi ke tim tersebut. Sering kali kesehatan dan perkembangan (fisik dan mental) pemain-pemain berpotensi Indonesia terkubur oleh keinginan mengejar medali dan prestasi. Terlalu banyak pemain berpotensi yang kariernya tamat dengan mendadak karena cedera yang disebakan dari latihan dan kegiatan yang hampir tiada hentinya. Berberapa tahun yang lalu ada seorang pemain basket putri di DKI Jakarta yang memiliki potensi luar biasa. She was so good, I would pay money to watch her play. Dia selalu main dengan senyum di wajah, dan memang seorang pemain yang luar biasa. Dia memperkuat klub, daerah, sekolahnya, dan bahkan sempat mengikuti pemanggilan pelatnas. Dimanakah anak tersebut sekarang? Sudah tidak aktif berkompetisi karena sudah berulang kali mendapat cedera lutut berat. Apakah kebetulan saja bahwa seorang anak yang mendapat begitu banyak panggilan bertanding mengalami cedera berulang kali? Yah, mungkin saja memang hanya nasib buruk saja, tetapi saya cenderugn berpikir padatnya jadwal latihannya juga berkontribusi kepada cedera yang dia alami. Hal seperti ini yang saya khawatirkan pada saat saya mendapat pesan bahwa anak angkat saya "disuruh latihan (salah satu tim DKI) besok", dia baru selesai mengikuti TC persiapan ASG, berangkat dan bertanding, dan belum 48 jam dia kembali ke tanah air, dia sudah dipanggil mengikuti seleksi yang lain. Apabila saya larang, saya sudah tahu dengan pasti apa yang akan menjadi omongan dikemudian hari "PSKD menghambat muridnya main selain di sekolah". Sehingga saya terjebak diantara 2 pilihan yang sama-sama tidak enak. Sebenarnya masalah-masalah seperti ini bisa diatasi dengan koordinasi, komunikasi, dan sedikti campur tangan dari masing-masing induk organisasi cabang. Seharusnya masalah dokumen dan surat meyurat dilakukan dengan jelas dan sesuai peraturan administrasi yang berlaku sehingga semua informasi bisa diperoleh dengan cepat dan tanpa keraguan. Seharusnya ada usaha untuk lebih merapihkan sistemnya sehingga tidak ada pemain yang bisa dipanggil tanpa ijin jelas dari orangtua (bukan hanya ijin lisan, tetapi ijin tertulis, sehingga sesuai dengan standard hukum Indonesia). Seharusnya ada langkat-langkah yang diambil untuk memastikan bahwa seorang pemain muda tidak didorong untuk belatih melewati batas yang aman bagi badan seorang remaja yang masih dalam masa perkembangan. Dan seharusnya "Pembinaan" memiliki tujuan yang lebih besar daripada mengumpulkan piala untuk Propinsi, Negara, Kampus, atau Sekolah. Sebagai pelatih dan guru, hal utama yang kita bentuk bukanlah pemain atau atlit, tetapi Manusia!!! And we have to do more to make sure that we make the best people possible!! We have to do better.... We can do better... WE WILL DO BETTER!!!!! Seperti yang sudah banyak diketahui oleh kalian semua, saat ini SMA 1 PSKD sedang dalam proses mengembangkan program pembinaan eSports di sekolah kita ini. Program ini berawal dari ide bahwa bidang eSports merupakan suatu bidang yang sangat cepat berkembang, dan bahwa skill dan pengalaman di bidang ini akan membawa manfaat positif bagi lulusan SMA 1 PSKD pada saat masuk ke dalam dunia kerja. Dalam proses persiapan program ini saya banyak mendapat pengalaman menarik. Ini dikarenakan proses pengembangan eSports di dalam suatu sekolah bukan proses yang mudah, dan didalamnya terdapat berbagai hal perlu diatasi sehingga program seperti ini bisa berjalan di dalam lingkungan sekolah. Menghadapi tantangan-tantangan tersebut membawa saya ke berberapa observasi dan kesimpulan yang ingin saya bagi. *SECARA RATA-RATA, SAAT INI, DI INDONESIA LEBIH MEMUNGKINKAN DAN LEBIH MASUK AKAL BAGI SEORANG ANAK SEKOLAH UNTUK MENGEJAR TARGET MENJADI PEMAIN PROFESIONAL DI BIDANG ESPORTS DARIPADA TARGET MENJADI PEMAIN PROFESIONAL LAINNYA. Ok, now that I have your attention.... Saya sudah sangat lama aktif didalam bidang pembinaan olahraga (tradisional seperti basket/bola/dst...) dan saya merasa confident untuk membuat pernyataan berikut tersebut. Kenapa saya berpikir seperti itu? Karena proses dan fasilitas yang diperlukan di bidang eSports jauh lebih accesible dan terjangkau secara lokasi DAN biaya daripada fasilitas yang diperlukan oleh cabang olahraga lain. Kenapa Filipina bisa begitu mendominasi cabang bola basket Asia Tenggara? Karena di hampir setiap daerah ada ring atau lapangan basket yang bisa digunakan. Hal yang sama berlaku untuk Bola Basket di Amerika Serikat, atau Sepak Bola di Brazil, dimana ada akses ke fasilitas, disitu ada kesempatan untuk berkembang. Tapi kalau itu benar, kenapa saat eSports di Indonesia sulit berkembang?? Nah Jawaban dari pertanyaan itu ada di dalam pernyataan berikut *eSports is NOT yet taken seriously in Indonesia: Point satu ini merupakan salah satu point utama yang berulang kali muncul pada saat persiapan program ini. Terlalu banyak pihak yang menganggap eSports sebagai suatu bidang “main-main” yang tidak perlu dipandang serius. Sebagian itu berasal dari kenyataan bahwa eSports pada dasarnya adalah bermain game, dan secara otomatis kebanyakan orang akan menganggap apapun yang berkaitan dengan “bermain” sebagai suatu bidang yang bisa disepelekan. Namun jangan lupa, sepakbola, bulu tangkis, bola basket, dan berbagai macam cabang olahraga dulu pun juga berawal sebagai “permainan”, dan lama-kelaamaan cabagn-cabang tersebut mendapat pengakuan dari masyarakat, bahkan diantara bidang-bidang tersebut ada bidang-bidang dimana Indonesia pernah menjadi yang terbaik di dunia. Point ini dikuatkan oleh adanya alah satu tim eSports profesional di Indonesia yang bergerak di cabang CS:GO, dalam proses persiapan program eSports SMA 1 PSKD, ada satu frase aygn sering saya dengar, yaitu “Tim profesional di Indonesia sebeanrnya hanya ada satu sih”, “Hanya satu tim yang memang profesional”, dst.... (saya yakin siapapun yang memang mengikuti dunia eSports paham saya membicarakan tim mana). Pada saat eSports (dan bidang apapun), dianggap serius dan dihadapi dengan respek dan usaha, maka prestasi dan pengakuan akan menyusul. Dan itu membawa saya ke sesuatu yang bagi saya menjanggal. Sebenarnya alasan kenapa bidang eSports di Indonesia tidak ditanggapi secara serius ada banyak, tapi ada satu yang sangat terasa bagi saya, dan, sejujurnya yang satu ini mengagetkan dan mengecewakan. Dalam proses persiapan program ini, saya sudah banyak sekali mewawancarai/bertemu/ngobrol/dst... dengan berbagai individu yang bergerak di dalam rana eSports Indonesia (Dari calon supplier, calon pembina, player, dst...), dan saya menemukan bahwa banyak sekali pelaku di eSports Indonesia sendiri tidak menganggap eSports bidang yang serius. Dalam wawancara calon pembina eSports untuk program kita, saya selalu memberikan kesempatan bagi para calon untuk bertanya, diantara pertanyaan atau pernyataan yang disampaikan, antara lain “Pak, kenapa sampai mau bikin program eSport yah? Kan Cuma main game aja.”, atau “Yah, kalau menjadi pembina program harus masuk rutin, saya kayaknya ngak bisa, soalnya saya harus cari perkerjaan beneran, ngak Cuma di game aja”dan pernyataan seperti ini bukan datang dari player yang Cuma hobby saja, pernyataan-pernyataan ini berberapa datang dari player-player yang memiliki reputasi sebagai player yang kuat. Satu hal lain yang menarik adalah kata-kata yang digunakan dalam wawancara, kata-kata seperti “main”, “hobby”, “game”, dst... banyak digunakan, dan kata-kata seperti “karir”, “eSport”, dan “prestasi” justru sedikit. Apabila player-player sendiri tidak berusaha untuk merepresentasikan/mempromosikan bidang mereka sebagai sebuah bidang yang serius, maka kemungkinan orang-orang lain di luar dunia gaming akan menanggapi eSports sebagai bidang serius juga akan rendah. Image yang saya dapat dari banyak orang yang mengikuti wawancara adalah bahwa mereka tidak melihat eSpors sebagai sesuatu yang luas, dan hanya berpatokan kepada aspek “playing” saja dari masing-masing game yang mereka dalami, mungkin sebagai player, pemain memang lebih terfokus kepada game yang mereka mainkan sehingga saya merasa bahwa banyak sekali yang tidak menyadari point berikut ini *eSports is going to be a HUGE industry, and most players dont even notice or understand why. Meskipun saat ini image akan eSports di Indonesia (baik dari dalam maupun dari luar komunitas), lebih melihat eSports sebagai bidang game, atau kompetisi antar pemain, namun perlu disadari juga bahwa sebenarnya industry eSports jauh lebih luas daripada aspek permainan saja. Event-event eSports bisa menarik jutaan penggemar ke liputan-liputannya, dan setiap harinya kita bisa melihat stream-stream di twitch dimana seorang player melakukan streaming game yang dia mainkan dengan puluhan ribu penonton yang menyaksikan secara live. Kemampuan menarik audience seperti itu akan menyebabkab eSports sangat berkembang. Penting untuk diingat bahwa hampir semua cabang olahraga besar di dunia didorong oleh masukan dana yang sangat besar dari pihak sponsor dan pihak penyiar. Pihak sponsor berlomba untuk mejadi sponsor tim atau pemain ternama supaya “branding” mereka meningkat dan mereka bisa lebih menyebar nama produk atau jasa mereka. Sedangkan pihak penyiar berlomba untuk mendapatkan hak siar untuk event-event besar supaya mereka bisa menarik penonton ke siaran mereka. Semakin besar jumlah penonton, semakin tinggi fee yang bisa ditagih oleh penyiar kepada perusahaan yang ingin memasang iklan di liputan tersebut. TAPI, dengan adanya konsep streaming (melalui Youtube, Twitch, NicoNico, dst...), sistem ini mulai berubah. Saat ini penyiar-penyiar tradisional mulai merasakan persaingan dari penyiar-penyiar model baru yang menggunakan internet sebagai media mereka. Di sini masuk eSport sebagai salah satu penggerak media jenis “baru” ini. Pemahaman dan pengalaman streamer akan menjadi sebuah skill yang sangat penting dalam pasar media yang sedang berkembang ini. Player dan caster, akan menjadi pelaku-pelaku utama dalam industri media jenis baru ini. Bisa dilihat bahwa banyak “raksasa” media mulai bergerak ke dalam bidang eSports. ESPN, CNN, BBC, dan berbagai media mainstream lainnya sudah mulai meliput eSports secara rutin. Perusahaan-perusahaan besar dunia mulai secara serius mensponsori player dan tim profesional supaya mereka bisa lebih menjual produknya, dan apa pengaruhnya bagi Indonesia? Indonesia merupakan salah satu dari 4 Negara dengan jumlah penduduk paling besar di dunia, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang paling aktif di dunia ”online”. Ini berarti bahwa ada potensi yang sangat besar bagi eSports Indonesia. Tapi penting juga untuk menyadari bahwa: *eSports sendiri merupakan satu bagian dari suatu “revolusi media” yang sangat besar dan sangat powerful. Potensi besar tidak hanya datang dari eSports, melainkan dari semua aspek dunia “content production” yang secara pelan tapi pasti mulai berpindah dari media umum seperti T.V dan Koran, dan mulai merambat ke dunia online. Blog dan casting sudah mulai menggantikan koran dan T.V., untuk pertama kali dalam sejarah perfilman ada perusahaan-perusahaan yang membuat film seri big budget HANYA UNTUK MEDIA ONLINE, dan saat ini mayoritas penduduk di bawah usia 30 lebih banyak mendapat informasi dari internet dibandingkan media tradisional. Kenapa eSports memiliki potensi untuk menyiapkan murid sebuah sekolah untuk dunia media seperti ini? Karena didalam eSports terkandung hampir semua unsur dari media versi baru tersebut: • Content (bahan untuk ditonton) • Production Skill (kemampuan produksi content) • Technical Skill (menguasai teknologi yang diperlukan untuk playing, casting, streaming) • Understanding/Knowledge Tetapi pemahaman atau penguasaan atas unsur-unsur tersebut harus didasari kepada satu pemaham penting, yaitu: *eSports is about soooooo much more than just “playing” the “Game” Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, didalam eSports ada banyak hal positif yang terkandung dalam konsep eSports tersebut. Bagi individu yang mendalami eSports sebagai sesuatu yang lebih daripada hanya sekedar “main/hobby” ada potensi yang besar. Tetapi individu tersebut harus menyadari bahwa eSports bukan hanya berkisar kepada “main” saja, tetapi diperlukan suatu pemaham mengenai letak eSports dalam keseluruhan ekonomi yang berkembang disekeliling dunia online. So thats some of the things that i have been thinking about and wanted to share, I welcome any and all comments and debate!! Sebagai update untuk perkembangan program eSports SMA 1 PSKD sendiri. Saat ini kami sedang memasuki tahap akhir untuk penentuan supplier/sponsor untuk peralatan eSports kami. Kami juga sudah mendapat pembina untuk Dota2 dan LoL (masih dalam tahap nego), yang SANGAT kompeten. Di sisi negatifnya, maraknya masalah “peblokiran 15 game” dan “bahaya game online mennurut KPAI” telah memaksa kami untuk melakukan “pending” terhadap rencana cabang GS:GO dan semua genreFPS lainnya (meskipun kami sedang mempertimbangkan mengadakan support untuk Overwatch yang sebentar lagi akan release). Heboh mengenai pengaruh negatif game online menarik, dan memang ada point point yang relevan dari KEDUA belah pihak (pro dan kontra game online), namun perlu ada dialog yang menggunakan inteligensi dan logika, bukan emosi dan kesimpulan tanpa data (dari KEDUA pihak). Sebagai penutup untuk tulisan ini saya berikan satu fakta yang sangat menarik terkait pro kontra game online. Norwegia, yang pada tahun 2011 mengalami teror pembunuhan masal oleh satu individu dimana ia membunuh 77 orang lain, memiliki rencana memasukan eSports kedalam kurikulum di salah satu sekolah negeri di Norwegia, dengan pemikiran akan mengembangkan ke sekolah sekolah lain di masa mendatang. Cabang yang mereka pilih untuk program ini? Counter Strike: GO, yang dikatan pemerintah KPAI sebagai salahs atu game yang mempromosikan kekerasan #ThinkAboutThat Thanks for reading. Im out. Yohannes P. Siagian Seperti yang sudah didengar oleh semua penghuni SMA 1 PSKD, kita saat ini sedang dalam tahap mempersiapkan berberapa program pembinaan yang akan diimplementasikan tahun ajaran depan. Program-program ini diharapkan akan menyusul keberhasilan program pembinaan olahraga SMA 1 PSKD yang selama ini sudah berhasil mencetak prestasi yang sangat membanggakan.
Memang saya akui bahwa proses pengembangan program-program ini menjadi sedikit terganggu karena adanya kabar yang bocor ke media mengenai salah satu program yang sedang dalam tahap perkembangan, dimana rencana program pengembangan eSports sempat menjadi berita booming di kalangan gamers di Indonesia (contoh liputan bisa dilihat di sini or di sini). Diliputnya rencana pengadaan program ini oleh berberappa media membawa sisi positif yang sangat besar kepada sekolah, namun juga menyebabkan adanya informasi yang salah atau kurang lengkap beredar. Oleh karena itu, saya ingin mengambil kesempatan ini untuk sedikit menjelaskan konsep dasar dibelakang program-program dan konsep yang kita gunakan. Apakah tujuan program-program ini? Mengembangkan skill-skill murid di dalam bidang-bidang yang mereka pilih sehingga pada saat lulus dari SMA 1 PSKD, murid-murid diharapkan bisa bersaing secara kompetitif sesuai standard yang berlaku di bidang yang mereka pilih. Apa saja program-program yang akan dijalankan? Program-program yang akan dijalankan adalah:
Apakah program-program ini merupakan ekskul? TIDAK!! frase "EKSTRA KURIKULER" memberikan kesan bahwa kegiatan ini adalah sebuah tambahan ("ekstra") semata. Program-program ini merupakanj program terintegrasi yang bertujuan untuk mengembangkan minat dan bakat masing-masing murid di bidang yang mereka pilih. Aspek-aspek dari bidang-bidang yang dipilih akan dirajut bersama dengan aspek akademik dasar dari program study SMA 1 PSKD untuk menciptakan sebuah program pendidikan yang terintegrasi untuk masing-masing murid. Seberapa banyak waktu per minggu yang akan dialokasikan kepada bidang yang saya pilih? Alokasi waktu untuk setiap bidang akan berbeda sesuai dengan tipe bidangnya, tetapi estimasi minimal adalah 10-20 jam setiap minggunya. Apa target yang diharapkan dari program ini? harapan program ini adalah bahwa pada sat murid lulus dari SMA 1 PSKD, ia telah memiliki skill/pengetahuan untuk dianggap kompeten dan kompetitif sesuai standard yang berlaku di masing-masing bidang. Seorang murid yang mendalami music diharapkan bisa memenuhi persyaratan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah music papa atas. Seorang atlit diharapkan bisa berkompetisi setidaknya di tingkat propinsi, dst... Apakah saya bisa memilih untuk tidak mengikuti kegiatan ini? Tidak. Pada saat wawancara masuk, setiap murid dan orangtua sudah mendapat penjelasan bahwa setiap murid di SMA 1 PSKD WAJIB memilih sebuah bidang untuk didalami selama masa studynya di SMA 1 PSKD. |
SMA 1 PSKD
Jalan Pangeran Diponegoro No. 80 RT.2/RW.6, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10430 Telp. (021) 3904418 / WA: 0821-8888-7753 tatausaha@sma1pskd.com |
DIRECTORY
|
©2023
SMA 1 PSKD Media |